Rabu, 13 Agustus 2008

(Puisi) Lemon Tea


Asam berwarna kecut
rasanya biru terang
Berpadu aroma lemon
segar merintih

Butir-butir kristal menjadi pasir
Larut bersama raga kecoklatan
Kotak-kotak mengetuk kaca
Siluman kelabu memecah badai
Buih membuncah menyapu asap

Lima kurcaci meresapi jarum perak
Duduk dengan tenang
Terdiam
Terisak...

08 Juli 2008
Sefryana Khairil Read More..

Jumat, 25 April 2008

(Puisi) Selubung Gurat Hati

Cicak-cicak itu berbicara
Sunyi merayapi dinding

Biru bukan kelabu
Hitam bukan belenggu
Namun
Pisau itu telah diselipkan
Genderang itu terdengar sayup-sayup

Redam asa dalam gumpalan rasa
Merah bukan darah
Jingga bukan serapah
Banyak orang bunuh diri dalam api
Kilatan-kilatan itu berpadu dengan sunyi tanpa arti

Jika putih adalah suci
Kumbang-kumbang katupkan harapan
Jejak itu masih terlihat
Meski di sana ada tembok besar..
Mengapa tak berbelok dan berhenti?

Jakarta, 8 Desember 2007Sefryana Khairil Read More..

(Puisi) MUAK!


Sepasang mata menatap merayu
Aku tak ragu!
Lembut ucapannya membius
Aku memilih tak mendengar!
Tawanya sumbang
Merah pipinya membakar jiwaku!
Bilang mataku tak bisa melihat
Memang!
Bilang hatiku tak tersentuh
Memang!
Apa yang kau ucapkan aku tak mengerti
Gerakan tanganmu mengajak
Tapi aku berpaling
Atau bukan hanya aku?
Juga mereka,
Keempat jariku yang lain,
Memilih berbalik meski terseok

Muak!
Satu kata itu saja...

untuk seseorang yang sedang bercakap riang, matanya menatap sinis. Jiwaku tertusuk, berdarah-darah. Perih, sakit! Lumat aku kalau kau mau!

Jakarta, 26 Februari 2008
Universitas Negeri Jakarta
Ruang Q 107

Sefryana Khairil Read More..

Senin, 31 Maret 2008

(Cerita) Afternoon Coffee ver short story

MENYUSURI jalan di kota yang penuh dengan kenangan...

Jakarta

Aku berjalan seorang diri saat matahari tenggelam di ufuk barat. Mataku menatap langit senja yang indah. Burung-burung gereja mulai bertebangan, kembali ke sarangnya. Kota ini memang jauh berbeda dibandingkan tiga tahun lalu, sebelum aku berangkat ke Paris.

Kendaraan-kendaraan padat memenuhi hampir di seluruh sudut kota ini. Polusi udara, banjir dan entah apa lagi. Aku memang bukan Gubernur Jakarta, tapi sebagai masyarakat yang baik, aku merasa perlu untuk menjaga dan memperhatikan lingkungan.

Jakarta

Aku menelusuri jejak kenangan yang masih tampak basah. Tidak apa-apa. Hanya ruang kosong dan aku merasa kesepian. Bintang-bintang di langit mulai muncul menemani sang rembulan yang sendiri. Aku menatapnya seraya mengulas senyum tipis. Bayanganku kembali pada masa-masa indah itu, bersama Mia...

“Suka minum kopi?” tanya gadis bertubuh tinggi, berambut panjang dan berkulit kuning gading saat aku berada di ruang OSIS ditemani secangkir kopi.

Aku mengangguk. “Espresso.”

“Back to basic. Kau bukan tipe romantis, namun tegas dan sangat berpegang teguh pada prinsip.”

Aku menatapnya. “Oh ya? Kau suka meramal lewat kopi?”

Mia tertawa. Ia duduk di sampingku. “Aku juga suka minum kopi setiap sore.”

Gadis itu, Mia. Miashella.

Aku menyukainya saat duduk di kelas satu SMA, kami sekelas. Sejak memulai hubungan dengannya, aku mempunyai kebiasaan baru, minum kopi setiap sore. Pandanganku menerawang. Ah, seandainya saja kekerasan hatiku melunak, sedikit saja, tiga tahun lalu. Mungkin Mia masih bersamaku, menemaniku dengan secangkir kopi buatannya sambil menatap senja di kota Jakarta yang indah.

----

AKU membelokkan mobilku memasuki sebuah kompleks perumahan. Billy & Moon, aku membaca tulisan itu di gapura pintu masuk. Sebuah area perumahan yang cukup luas dan asri. Waktu seakan berputar, mengajakku kembali ke masa lalu.

Aku merindukan Mia.

Setiap kali menyeruput kopi hangat, aku berharap dapat menemukan setitik saja harapan untuk bisa kembali bersamanya di hitamnya kopi, sama seperti kelamnya duniaku. Semua memang salahku, memaksakan diri untuk pergi, sementara jiwaku di sini, bersama secangkir kopi di sore kelabu, saat aku dan Mia sama-sama terdiam dan memutuskan bahwa semua telah berakhir.

Di depan sebuah rumah bertingkat bernuansa Eropa, aku memakirkan mobilku. Aku menekan bel. Rumah itu tampak sepi. Aku menghela nafas panjang, perasaanku benar-benar tak menentu. Apalagi setelah mendapat kabar Mia masuk rumah sakit dan kritis!

“Permisi, Tante...” sapaku sopan pada wanita yang membukakan pintu.

“Cari siapa ya?”

“Saya Aji, ingin bertemu Mia.”

“Oh, Aji! Ayo masuk!”

Wanita itu, Farida Mahdi, ibunya Mia. Ia menyuruhku duduk di ruang tamu yang mewah dan elegan. Di sana kulihat bingkai foto besar. Foto Mia dan keluarganya. Senyumnya begitu manis. Sama seperti dulu pertama kali aku melihatnya.

Mia, que tu me manques... (aku merindukanmu)

Memang, tidak ada yang lebih indah dari Mia. Kecantikannya memancarkan kelembutan dan keteduhan. Aku selalu merasa damai ketika menatapnya. Pandanganku tertuju pada vas bunga yang berada di tengah meja.

“Ji, jangan lupa meletakkan vas bunga Violette di meja vestibule (ruang masuk) di apartemenmu ya...”

Aku tersenyum menahan perih mengingat kata-kata Mia. Bunga Violette dan Monaco adalah kesukaan Mia. Matanya selalu bersinar jika menceritakannya.

“Kopi, Aji...” ujar ibunya Mia seraya meletakkan secangkir kopi di atas meja.

“Terima kasih, Tante.”

Aku menyeruput kopi Espresso itu. Rasa yang selalu kusuka setiap sore. Bayangan Mia berada di pendar hitam kopi itu. Ia selalu di sana. Takkan pernah beranjak. Mia mengajakku masuk ke dalam, namun aku tak tahu jalan aku keluar! Di dalam kopi itu, aku tenggelam. Tak ada dasar, semua tampak tak terbatas. Absurd. Aku terus mencari dasarnya, meskipun akhirnya kutahu, sia-sia. Aku akan terpuruk di dalamnya.

Benarkah semua ini telah berakhir? Aku menarik nafas. Aroma kopi itu. Aroma Mia. Terasa begitu melekat. Asap kopi kutiup perlahan, sama seperti aku mencoba membiarkan sayap Mia mengepak dan pergi jauh dari duniaku.

“Penyakit jantung Mia semakin parah...”

Aku terdiam menatap wanita itu. Kesenyapan menyergapku.

----

AKU sekarang berada di sampingnya. Di samping Mia. Wajah yang kurindukan, yang selalu kulihat bayangannya dalam secangkir kopi. Wajah itu pucat. Ia mencoba mengembangkan seulas senyum.

“Kau datang, Aji...” ujarnya pelan.

Aku menggenggam tangannya. “Ya, Mia.”

“Aji, mungkin kau takkan pernah tahu cintaku untukmu dalam secangkir kopi. Meskipun menyakitkan, namun indah. Tak apa jika aku harus terluka untukmu...”

Aku mengusap rambut Mia yang tergurai di bantal. Mataku berkaca-kaca. Sekian lama aku terus merindukannya, kini aku kembali melihatnya dalam keadaan seperti ini. Hatiku teriris. Jika aku boleh meminta, aku ingin merasakan rasa sakitnya, agar bisa kembali menatap keceriaan dalam binar mata indahnya.

“Dalam kopi itu, jantungku akan selalu berdetak untukmu, Ji...” ia menatapku sayu. Detak jantungnya melemah. Ada jelaga yang mengambang di matanya, ia menyentuh wajahku perlahan. “Kopi itu hitam seperti langit malam, jika aku masih diberikan kesempatan, aku ingin menunjukkan bintang terindah untukmu. Kopi itu pahit, namun aku ingin menjadi butir gula dengan kemilaunya, larut di dalamnya, masuk ke dalam tubuhmu dan berada di sana selamanya...”

“Sst... jangan bicara lagi, Mia...” mataku ikut basah.

“Peluk aku, Ji...”

Aku menunduk dan merengkuhnya. Mendengar degup jantungnya yang melemah. Aku terus mendekapnya, aku tidak ingin melihat Mia tertidur. Ibunya menjerit tertahan, ayahnya memeluk wanita itu. Malam semakin kelam.

“Kau akan jadi bintang yang paling indah, Mia. Takkan kuizinkan hujan turun agar kau dapat terus menatapku...” bisikku lirih.

----

AKU memandangi kopiku yang telah dingin. Tak ada lagi keresahan serta kegelisahan yang membelenggu jiwaku. Kulayangkan tatapanku pada langit senja kota Paris. Di sana aku duduk di salah satu kafe cantik di Champ Elysees. Lampu-lampu mobil bagaikan jutaan berlian mengalir di salah satu sisi jalan, dan dari arah hulu, berkelap-kelip ruby yang tak terhitung menuju hilir.

Aku tersenyum sambil menyeruput kopiku,bersamaan dengan bintang yang muncul di permadani malam.
“Mia, kopiku akan selalu hitam dan manis...” Read More..