Rabu, 20 Mei 2009

(Review) Metropolis-Windry Ramadhina



Sastra adalah jejak peradaban manusia, dimana ia bisa menjadi saksi sejarah yang merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai self naration. Sastra membangun dirinya sendiri menjadi kumpulan data-data yang menyatakan sejauh mana peradaban berlangsung, menjadi cermin yang merefleksikan jaman serta ilmu pengetahuan pada masanya.

Sastra merekam, mengulas dan menyajikan sejauh mana peradaban berlangsung, bukan hanya dari apa yang terlihat namun juga dari apa yang terasa di dalamnya. Rasa sastra inilah yang sering kali masuk tanpa kita sadari ke dalam diri kita dan menyelinap di belakang kesadaran kita, yang akhirnya menimbulkan apa yang biasa disebut sebagai makna. Hal ini adalah apa yang disebut sebagai comatose meaning, makna yang masuk ke dalam kepala kita tanpa kita sadari, tanpa adanya proses penerjemahan.

Pada kenyataannya, makna tentu saja selalu terikat dengan preferensi individual yang secara langsung di pengaruhi oleh wawasan dan pandangan lingkungan, sehingga makna akhirnya memiliki identitas sesuai yang diungkapkan Barker yaitu constructive discoursion which change their meaning according to the time, plee and usage. Sehingga dari satu narasi nantinya akan menimbulkan identitas makna yang kaya baik yang masuk secara comatose atau aware.

Dalam karya sastra khususnya prosa fiksi (novel) biasanya comatose meaning berada dalam jangkauan yang luas dengan intensitas yang tinggi, hal ini terjadi karena prosa fiksi memiliki daya narasi/penceritaan yang panjang, lain dengan puisi yang cenderung memadatkan makna ke dalam satu rangkaian narasi. Dalam hal ini Metropolis berhasil menjadi karya yang memiliki comatose meaning yang tidak menjadikannya sebuah karya yang menggurui.

Pada sekitar akhir 1960-an, Mario Puzo meluncurkan sebuah novel yang berjudul The Godfather, novel yang menceritakan kehidupan keluarga mafia Italia, keluarga Corleone di Amerika. Ritme cerita yang padat dan mengikat, alur yang dijaga apik akhirnya menjadikan buku ini diterjemahkan ke dalam seluloid oleh Francis Ford Copolla.

The Godfather bukan hanya hadir untuk menyajikan cerita, namun juga menghadirkannya ke dalam kepala pembaca, yang secara tidak sadar terbawa ke dalam atmosfir kehidupan mafia, pun dengan karya Windri yang kedua ini Metropolis tak hanya berhasil menyajikan cerita, namun juga berhasil menghadirkan cerita secara comatose ke dalam kepala pembacanya.

Bila kita melihat secara runut peristiwa yang terjalin di dalam cerita, baik dalam The Godfather dan Metropolis semuanya menyajikan ‘luka’ sebagai senjata. Luka yang nantinya akan menimbulkan sebuah dendam. Unsur cerita seperti ini biasanya akan menimbulkan raungan narasi yang klise, namun berkat keakuratan data dan kepandaian menata alur akhirnya Metropolis berhasil menempatkan dirinya jauh di atas ranah klise yang menjebak.

Sebuah twist dihadirkan dalam dalam novel ini melalui satu orang tokoh, yaitu Erik. Keunikan yang orisinal sudah menyentil di awal novel ini, konvensi Bram yang memiliki catatan konvensional sebagai nama laki-laki, ditwist oleh penulis dengan menghadirkan tokoh tersebut sebagai seorang perempuan. Sangat menyentil, sangat kreatif!

Biasanya sebuah prosa fiksi menawarkan kebebasan dalam membentuk atmosfir cerita, namun dalam karya ini tampaknya penulis berusaha untuk mengakrabkan pembaca dengan hal yang paling dekat dalam dunia mafia, yaitu kota besar. Siapa yang tak kenal Jakarta, kota yang meski sudah di telanjangi, tetap saja menyimpan rahasia-rahasia kelam. Itulah sepertinya yang ingin dihadirkan oleh penulis, menghadirkan apa yang sebenarnya ada, namun tidak pernah kita sadari.

Dibutuhkan sebuah riset yang cermat untuk menghadirkan sesuatu yang (mungkin) tidak ada untuk menjadi sebuah sugesti yang meyakinkan tentang keberadaanya. Prosa fiksi yang memiliki daya pikat sebagai laporan investigasi yang mendalam rasanya selalu mencuri perhatian untuk tenggelam bersama dan berlama-lama di dalamnya.

Sepeti halnya Da Vinci Code atau Rahasia Meede, prosa fiksi rasanya berada terlalu dekat dengan kenyataan, menyelinap masuk dan meyakinkan pembaca bahwa apa yang ditulis adalah apa yang terjadi sebenar-benarnya. Namun pada dasarnya semua individu memang perlu merasakan pengalaman fiksi yang bukan berasal dari kehidupannya, dan dalam hal ini Metropolis berhasil menyajikan sebuah pengalaman baru yang orisinal dan kaya akan data.

Penyajian data yang akurat tak cukup untuk menjadikan sebuah karya prosa fiksi menjadi karya yang menarik, dibutuhkan juga kepiawaian penulis dalam menyajikan data dalam bentuk narasi. Dan beruntunglah, narasi yang baik disajikan lewat penataan alur yang apik, sehingga Metropolis ini bukan hanya hadir sebagai laporan namun menjadikan dirinya sebagai karya prosa fiksi yang cukup kuat.

Kekurangannya mungkin hanya berada dalam deskripsi yang panjang,yang mungkin hal baru bagi pembaca Orange--novel Windry sebelumnya--namun di luar itu Metropolis tetap menjadi sebuah keterbaruan dalam kelasnya. Investigasi, kriminalitas, polisi, pembunuhan, kekuasaan nampaknya menjadi sebuah momok yang begitu akrab, dan beruntunglah Metropolis hadir menghapuskan kelelahan membaca prosa fiksi yang bertemakan itu-itu saja.
Read More..

Minggu, 10 Mei 2009

(Share) Dalam Sebuah Perjalanan



Terkadang memang melelahkan, tapi aku tetap bertahan.
Aku ingin membuat mereka bahagia, karena aku. Kalau tidak, siapa lagi? Siapa lagi yang mampu membuat mereka tersenyum? Read More..